Jumat, 19 Juni 2020
Lelucon yang tidak Lucu adalah Body Shaming. (ketika hukum belum sepenuhnya mengakomodir mulut netizen)
Senin, 15 Juni 2020
Mempelihara Hewan Bisa di Penjara, Kok Bisa ?
“Mencintai tidak harus memiliki…“
Indonesia memiliki luas kurang lebih sekitar 1.919.440 km² dengan letak geografis yang strategis menunjukkan kekayaan Indonesia akan Sumber Daya Alam dengan segala macam flora, fauna dan potensi hidrografis. Sumber daya alam Indonesia tersebut mulai dari sektor pertanian, kehutanan, kelautan, perikanan, peternakan, perkebunan dan pertambangan serta energi. Indonesia sebagai negara yang beriklim tropis dengan Sumber Daya Alam yang melimpah harusnya menjadi negara yang memiliki power dan kemampuan untuk mejaga kekayaan tersebut, namun Indonesia belum mempunyai Sumber Daya Manusia dengan kesadaran menjaga dan melindungi akan kekayaan yang dimilikinya tersebut, belum ada sensitifitas terhadap potensi yang dimiliki oleh negaranya serta belum memikirkan potensi kerusakan Sumber Daya Alam terhadap perbuatan yang menyimpang. Tidak hanya itu, masyarakat Indonesia belum sepenuhnya mampu mengelola dan memelihara kekayaan dengan baik dan belum memiliki kepedulian atas kerugian yang ditimbulkan ketika melakukan perusakan lingkungan atau hutan dan ketika kekayaan tersebut dinikmati oleh negara lain.
Fakta tersebut menunjukan bahwa kesadaran masyarakat di Indonesia masih kurang, seperti halnya kepedulian dalam menjaga dan melestarikan hewan atau satwa, beberapa orang tidak peduli terhadap perbuatannya yang dapat menimbulkan dan mengakibatkan kerusakan lingkungan dan terganggunya ekosistem, bahkan malapetaka bagi orang tersebut. Ketidakpedulian tersebut salah satunya terhadap keberadaan satwa, sebagaimana perdagangan terhadap satwa yang dilindungi, pembunuhan satwa yang dilindungi untuk kepentingan pribadi dan perbuatan-perbuatan yang berpotensi mengganggu populasi dan ekosistem bisa berujung pada perbuatan pidana, sehingga tidak jarang ketika aparat penegak hukum menindak untuk diproses hukum akan muncul statement atau pernyataan “Loh… ada hukum yang mengatur ya, kok saya tidak tahu”, pernyataan-pernyataan tersebut kerap muncul ketika seseorang mencari alasan pembenar atas perbuatannya.
Dalam kehidupan sehari-hari, satwa tidak hanya berperan sebagai objek yang dapat dimanfaatkan oleh manusia tetapi juga berperan dalam siklus kehidupan di alam, artinya keberadaan satwa juga sebagai penyeimbang, sebagai subjek yang semestinya untuk dijaga dan lindungi keberadaannya. Satwa merupakan segala macam jenis hewani yang berasal dari hewan yang hidup di darat, air maupun udara, yang biasanya dikenal dengan hewan atau binatang. Saat ini, ada beberapa satwa yang populasinya mulai langka atau menuju kepunahan, sehingga untuk menjaga keberadaannya negara membuat kebijakan dengan mengeluarkan suatu aturan yang tidak lain untuk melindungi keberadaan satwa tersebut.
Aturan tersebut terkadang belum sejalan dengan pemahaman masyarakat yang menganggap dirinya “belum tahu” bahwa ada sebuah aturan yang mengatur tentang satwa yang dilindungi, sehingga menimbulkan pernyataan bahwa ternyata sebagian orang tidak mengetahui adanya aturan terhadap satwa yang dilindungi tersebut, maka kondisi tersebut berimplikasi terhadap respon yang santai dengan menggunakan dalih “wahhhh….saya tidak tahu kalau satwa ini dilindungi”, namun sebagaimana secara umum sifat hukum ketika diundangkannya adalah bersifat mengikat (binding) bagi masyarakat luas, sehingga ketika suatu aturan telah diundangkan atau disahkan berlaku mengikat dan masyarakat dianggap tahu atas aturan tersebut. Hal tersebut memberikan pengertian bahwa ternyata hukum dan satwa tidak dapat dipisahkan sebagai satu kesatuan upaya untuk menjaga eksistensi dan keberadaan satwa, sehingga hukum diperlukan sebagai aturan yang mengakomodir untuk upaya preventif maupun represif dalam rangka menjaga keberadaan satwa dari kepunahan.
Jenis satwa yang dilindungi digolongkan dalam satwa dalam bahaya kepunahan dan satwa yang populasinya jarang. Aturan terhadap macam-macam satwa yang dilindungi tertulis dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor P.20/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2018 Tentang Jenis Tumbuhan Dan Satwa Yang Dilindungi, sebagaimana terdapat 787 satwa yang dilindungi terdiri mamalia, burung, reptile, amphibi, ikan, serangga, krustasea, moluska dan ketam tapal kuda. Daftar satwa yang dilindungi dalam Permen LHK tersebut ada beberapa satwa yang sering dijumpai dan biasanya oleh masyarakat dengan sengaja dipelihara atau tidak sengaja dipelihara. Konsekuensinya ketika pembaca memelihara hewan-hewan yang dilindungi tersebut tanpa izin dapat diancam pidana. Aturan tersebut termuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, tepatnya pada pasal 21 Ayat (2) huruf (a) yang menyatakan “setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup” dengan ancaman hukuman sebagaimana dalam Pasal 40 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang menyatakan “Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 33 Ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).” Sehingga jika salah satu perbuatan dalam pasal tersebut, yakni menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan terpenuhi dapat dipidana
Menjadi pernyataan, bagaimana dengan orang yang tidak sengaja menemukan satwa sakit di hutan atau ditengah jalan kemudian dibawa pulang ke rumah untuk dirawat dan dipelihara? Apalagi orang tersebut tidak mengetahui bahwa satwa yang ditolong tersebut merupakan satwa yang dilindungi sebagaimana masuk dalam daftar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor P.20/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2018 Tentang Jenis Tumbuhan Dan Satwa Yang Dilindungi, apakah ada aturan yang mengancam perbuatan tersebut ?
Dalam konteks hukum, dalih “ketidaktahuan” terhadap sebuah aturan tidak menghapus pidana, sebagaimana perbuatan tersebut masuk dalam kategori “kelalaian” atau “tidak sengaja” sehingga dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, mengatur tentang kelalaian tersebut meskipun dengan ancaman yang lebih ringan daripada kesengajaan memelihara.
Bagaimana solusinya ?
Ketika seseorang menemukan satwa yang tidak lazim (patut diduga bahwa satwa tersebut langka dan akan punah) apalagi mengetahui bahwa satwa tersebut di lindungi, orang tersebut dapat memberikan informasi atau melaporkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Ketika keinginan memelihara tidak dapat dibendung, terdapat pengecualian ketika seseorang yang ingin memelihara satwa yang dilindungi, yakni dengan kategori F2, satwa turunan. Sebagaimana kalau indukannya kategori F0, memiliki keturunan, kemudian memiliki keturunan lagi, jadi bisa disebut generasi ketiga sehingga boleh dipelihara. Namun, tidak sedikit orang tetap ngotot untuk memelihara hewan yang dilindungi dengan dalih mencintai satwa.
Bagaimana ? Apakah hewan yang kalian pelihara masuk dalam kategori satwa yang dilindungi dan tidak boleh dipelihara ?
Diposting oleh Ari Budiarti , S.H.