PEMIKIRAN

Jumat, 19 Juni 2020

Lelucon yang tidak Lucu adalah Body Shaming. (ketika hukum belum sepenuhnya mengakomodir mulut netizen)

tidak ada yang bisa memilih dirahim siapa kita dilahirkan dan dengan bentuk seperti apa kita terlahir…
Setiap orang terlahir dengan kondisi dan bentuk tubuh yang berbeda satu dengan yang lainnya, sebagaimana pada dasarnya manusia terlahir unik dengan segala kelebihannya. Bentuk dan ukuran tubuh setiap orang menjadikan dirinya bagian yang tidak dapat dipisahkan sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Kondisi tersebut tidak jarang dijadikan sebagai bahan pembanding untuk mengukur standarisasi kecantikan atau ketampanan. Meskipun kriteria kecantikan dan ketampanan senantiasa berubah-ubah dari masa ke masa, namun kriteria tersebut seringkali ditampilkan oleh media dan dalam kontruksi sosial di masyarakat dengan ciri-ciri tertentu, misalnya berupa tubuh langsing, kulit putih bersih, rambut panjang, mata besar, dan hidung mancung atau tinggi badan, badan tegap, kulit putih bersih, badan berisi alis tebal, dan ciri-ciri yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dirubah dalam sekejap.
Standarisasi tersebut secara tidak langsung melahirkan definisi kecantikan dan ketampanan di masyarakat, sehingga standardisasi tersebut membuat kelompok-kelompok tertentu termarginalkan karena tidak dapat memenuhi standar yang ditentukan tersebut.
Tidak jarang bagi perempuan dengan adanya standar kecantikan yang ada pada masyarakat justru membuat perempuan merasa senang dan bangga ketika berhasil mewujudkannya. Sehingga banyak perempuan yang berusaha keras untuk membuat kulitnya menjadi putih, menghilangkan lemak tubuh, operasi plastik dan implan, maupun tindakan lainnya demi memenuhi standardisasi kecantikan yang diciptakan secara terus menerus. Hal tersebut menimbulkan kecenderungan untuk membandingkan dirinya dengan perempuan lain, perbuatan tersebut cenderung menimbulkan kompetisi untuk menjadi yang tercantik. Perempuan yang tidak mampu memenuhi “standar cantik” dapat menimbulkan perasaan membenci dirinya sendiri (tidak nyaman). Ketidakpuasan akan bentuk fisik dapat mengarah pada hilangnya rasa kepercayaan diri dan hal tersebut juga terjadi pada laki-laki sebagaimana banyak laki-laki berusaha dengan keras mewujudkan standar yang didefinisikan oleh kontruksi sosial di masyarakat maupun media tentang standar tampan.
Ketika seseorang tidak dapat memenuhi standar yang ditentukan tersebut tidak jarang dijadikan sebagai bahan olok-olokan atau ejekan yang sering disebut sebagai Body ShamingBody Shaming sendiri merupakan tindakan seseorang yang mencela atas suatu bentuk tubuh individu lain dimana bentuk tubuh tersebut tidak ideal dan atau tidak seperti bentuk-bentuk tubuh pada umumnya.
Body Shaming dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk dari merundung (bullying), sebagaimana dahulu body shaming tersebut dilakukan secara konvensional dengan berhadapan secara langsung, namun dengan perkembangan teknologi body shaming tersebut seolah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari aktivitas di media sosial. Kemajuan teknologi memiliki peran besar dalam melanggengkan praktek-praktek body shaming, salah satunya media sosial yang menjadi wadah bagi seseorang (netizen) menghina atau mengejek citra tubuh orang lain bahkan orang lain tersebut tidak dikenal olehnya. Body Shaming bisa berupa tindakan mengitimidasi, mengancam, mempermalukan, merendahkan, menggoda, menjatuhkan, sarkasme, mengejek, menatap, mencuat lidah, mengucilkan citra tubuh dan perbuatan verbal lainnya yang mengarah pada penghinaan citra tubuh. Tidak hanya itu, ucapan-ucapan maupun kata-kata “eh gendut, tidak cantik, kok hitam sih, pendek, dsb” dinormalisasi oleh masyarakat dan dianggap wajar bahkan dianggap sebagai bagian dari lelucon, meskipun sebenarnya tidak ada yang lucu dari kata-kata tersebut. Tidak banyak orang menyadari akibat yang ditimbulkan dari kata-kata tersebut terhadap orang lain.
Bagaimana hukum memandang Body Shaming sebagai perbuatan penghinaan, apakah seseorang yang melakukan Body Shaming dapat diancam pidana?
Body Shaming masih tetap sebagai pembahasan yang menarik dan debatable, sebagaimana ketidakjelasan aturan yang mengakomodir body shaming sebagai bagian dari “penghinaan” dalam konteks hukum. Penghinaan sendiri diancam dalam Pasal 310, 311 dan 315 KUHP, adapun terhadap penerapan pasal yang “mendekati” body shaming adalah Pasal 315 KUHP, yang berbunyi “tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”, bunyi dalam Pasal 315 KUHP tersebut tidak secara eksplisit memberikan pengertian terhadap bentuk-bentuk perbuatan penghinaan, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah body shaming termasuk dalam penghinaan yang dimaksud. Tidak hanya itu, penghinaan yang dilakukan oleh seseorang di media sosial diakomodir dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE menyebut larangan terhadap setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perkara nomor 50/PUU-VI/2008 yang menyatakan terhadap penafsiran norma yang termuat dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tidak bisa dilepaskan dari genusnya, yaitu norma hukum yang termuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai aturan induk. Akan tetapi pemahaman pada Pasal 27 Ayat (3) UU ITE masih belum memberikan kejelasan terhadap dasar seseorang yang melakukan body shaming, sebagaimana penghinaan terhadap citra tubuh (body shaming) belum secara eksplisit dapat diakui sebagai bentuk delik penghinaan berlandaskan dengan Pasal 310, 311 dan 315, ketika dihadapkan kepada perbuatan seseorang mengejek orang lain, contoh “hidungmu kok pesek sih” atau “itu kenapa wajahmu hitam, gak cantik” sehingga menimbulkan pertanyaan apakah perbuatan tersebut dapat memenuhi unsur penghinaan yang diatur dalam Pasal 310, 311 dan 315 KUHP, sedangkan ketika body shaming yang dilakukan secara terus menerus dengan cara itimidasi, mengancam, mempermalukan didepan umum apalagi berpotensi menimbulkan kerugian meteriil maupun imateriil akan berbeda penyelesaiannya, bahkan ketika perbuatan tersebut memenuhi unsur penghinaan dalam Pasal 310, 311 dan 315 tetap dalam penyelesaiannya dapat lebih mengedepankan sistem restorative justice sebagaimana hukum pidana sebagai ultimum remidium, tidak hanya itu penghinaan sebagai delik aduan harus ada laporan untuk dapat diproses secara hukum. Perbuatan body shaming di media sosial bisa saja dipidana apabila memenuhi kualifikasi tindak pidana yang telah ada atau memenuhi pasal. Meskipun perlu dicatat bahwa terdapat elemen dasar penentuan adanya tindak pidana tersebut, sehingga tidak serta merta body shaming dapat diproses hukum. Namun pada dasarnya body shaming  dapat dijerat pidana ketika memenuhi unsur dalam Pasal 310, 311 dan 315 KUHP dan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, serta tidak ada agama manapun dan masyarakat manapun yang membenarkan perbuatan body shaming.

Senin, 15 Juni 2020

Mempelihara Hewan Bisa di Penjara, Kok Bisa ?

Mencintai tidak harus memiliki…

Indonesia memiliki luas kurang lebih sekitar 1.919.440 km² dengan letak geografis yang strategis menunjukkan kekayaan Indonesia akan Sumber Daya Alam dengan segala macam flora, fauna dan potensi hidrografis. Sumber daya alam Indonesia tersebut mulai dari sektor pertanian, kehutanan, kelautan, perikanan, peternakan, perkebunan dan pertambangan serta energi. Indonesia sebagai negara yang beriklim tropis dengan Sumber Daya Alam yang melimpah harusnya menjadi negara yang memiliki power dan kemampuan untuk mejaga kekayaan tersebut, namun Indonesia belum mempunyai Sumber Daya Manusia dengan kesadaran menjaga dan melindungi akan kekayaan yang dimilikinya tersebut, belum ada sensitifitas terhadap potensi yang dimiliki oleh negaranya serta belum memikirkan potensi kerusakan Sumber Daya Alam terhadap perbuatan yang menyimpang. Tidak hanya itu, masyarakat Indonesia belum sepenuhnya mampu mengelola dan memelihara kekayaan dengan baik dan belum memiliki kepedulian atas kerugian yang ditimbulkan ketika melakukan perusakan lingkungan atau hutan dan ketika kekayaan tersebut dinikmati oleh negara lain.

Fakta tersebut menunjukan bahwa kesadaran masyarakat di Indonesia masih kurang, seperti halnya kepedulian dalam menjaga dan melestarikan hewan atau satwa, beberapa orang tidak peduli terhadap perbuatannya yang dapat menimbulkan dan mengakibatkan kerusakan lingkungan dan terganggunya ekosistem, bahkan malapetaka bagi orang tersebut. Ketidakpedulian tersebut salah satunya terhadap keberadaan satwa, sebagaimana perdagangan terhadap satwa yang dilindungi, pembunuhan satwa yang dilindungi untuk kepentingan pribadi dan perbuatan-perbuatan yang berpotensi mengganggu populasi dan ekosistem bisa berujung pada perbuatan pidana, sehingga tidak jarang ketika aparat penegak hukum menindak untuk diproses hukum akan muncul statement atau pernyataan “Loh… ada hukum yang mengatur ya, kok saya tidak tahu”, pernyataan-pernyataan tersebut kerap muncul ketika seseorang mencari alasan pembenar atas perbuatannya.
Dalam kehidupan sehari-hari, satwa tidak hanya berperan sebagai objek yang dapat dimanfaatkan oleh manusia tetapi juga berperan dalam siklus kehidupan di alam, artinya keberadaan satwa juga sebagai penyeimbang, sebagai subjek yang semestinya untuk dijaga dan lindungi keberadaannya. Satwa merupakan segala macam jenis hewani yang berasal dari hewan yang hidup di darat, air maupun udara, yang biasanya dikenal dengan hewan atau binatang. Saat ini, ada beberapa satwa yang populasinya mulai langka atau menuju kepunahan, sehingga untuk menjaga keberadaannya negara membuat kebijakan dengan mengeluarkan suatu aturan yang tidak lain untuk melindungi keberadaan satwa tersebut.

Aturan tersebut terkadang belum sejalan dengan pemahaman masyarakat yang menganggap dirinya “belum tahu” bahwa ada sebuah aturan yang mengatur tentang satwa yang dilindungi, sehingga menimbulkan pernyataan bahwa ternyata sebagian orang tidak mengetahui adanya aturan terhadap satwa yang dilindungi tersebut, maka kondisi tersebut berimplikasi terhadap respon yang santai dengan menggunakan dalih “wahhhh….saya tidak tahu kalau satwa ini dilindungi”, namun  sebagaimana secara umum sifat hukum ketika diundangkannya adalah bersifat mengikat (binding) bagi masyarakat luas, sehingga ketika suatu aturan telah diundangkan atau disahkan berlaku mengikat dan masyarakat dianggap tahu atas aturan tersebut. Hal tersebut memberikan pengertian bahwa ternyata hukum dan satwa tidak dapat dipisahkan sebagai satu kesatuan upaya untuk menjaga eksistensi dan keberadaan satwa, sehingga hukum diperlukan sebagai aturan yang mengakomodir untuk upaya preventif maupun represif dalam rangka menjaga keberadaan satwa dari kepunahan.
Jenis satwa yang dilindungi digolongkan dalam satwa dalam bahaya kepunahan dan satwa yang populasinya jarang. Aturan terhadap macam-macam satwa yang dilindungi tertulis dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor P.20/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2018 Tentang Jenis Tumbuhan Dan Satwa Yang Dilindungi, sebagaimana terdapat 787 satwa yang dilindungi terdiri mamalia, burung, reptile, amphibi, ikan, serangga, krustasea, moluska dan ketam tapal kuda. Daftar satwa yang dilindungi dalam Permen LHK tersebut ada beberapa satwa yang sering dijumpai dan biasanya oleh masyarakat dengan sengaja dipelihara atau tidak sengaja dipelihara. Konsekuensinya ketika pembaca memelihara hewan-hewan yang dilindungi tersebut tanpa izin dapat diancam pidana. Aturan tersebut termuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, tepatnya pada pasal 21 Ayat (2) huruf (a) yang menyatakan “setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup” dengan ancaman hukuman sebagaimana dalam Pasal 40 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang menyatakan “Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 33 Ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).” Sehingga jika salah satu perbuatan dalam pasal tersebut, yakni menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan terpenuhi dapat dipidana

Menjadi pernyataan, bagaimana dengan orang yang tidak sengaja menemukan satwa sakit di hutan atau ditengah jalan kemudian dibawa pulang ke rumah untuk dirawat dan dipelihara? Apalagi orang tersebut tidak mengetahui bahwa satwa yang ditolong tersebut merupakan satwa yang dilindungi sebagaimana masuk dalam daftar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor P.20/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2018 Tentang Jenis Tumbuhan Dan Satwa Yang Dilindungi, apakah ada aturan yang mengancam perbuatan tersebut ?

Dalam konteks hukum, dalih “ketidaktahuan” terhadap sebuah aturan tidak menghapus pidana, sebagaimana perbuatan tersebut masuk dalam kategori “kelalaian” atau “tidak sengaja” sehingga dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, mengatur tentang kelalaian tersebut meskipun dengan ancaman yang lebih ringan daripada kesengajaan memelihara.

Bagaimana solusinya ?
Ketika seseorang menemukan satwa yang tidak lazim (patut diduga bahwa satwa tersebut langka dan akan punah) apalagi mengetahui bahwa satwa tersebut di lindungi, orang tersebut dapat memberikan informasi atau melaporkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Ketika keinginan memelihara tidak dapat dibendung, terdapat pengecualian ketika seseorang yang ingin memelihara satwa yang dilindungi, yakni dengan kategori F2, satwa turunan. Sebagaimana kalau indukannya kategori F0, memiliki keturunan, kemudian memiliki keturunan lagi, jadi bisa disebut generasi ketiga sehingga boleh dipelihara. Namun, tidak sedikit orang tetap ngotot untuk memelihara hewan yang dilindungi dengan dalih mencintai satwa.

Bagaimana ? Apakah hewan yang kalian pelihara masuk dalam kategori satwa yang dilindungi dan tidak boleh dipelihara ?

Diposting oleh Ari Budiarti , S.H.